Halaman

Jumat, 31 Mei 2013

Prompt #14 : Desa berselimut salju


Aku menggigil menikmati tetesan salju. Untunglah pakaianku cukup tebal sehingga lumayan bisa melindungiku dari gempuran salju yang terus saja berjatuhan. Gaunku berwarna pink cemerlang, dilengkapi dengan sebuah syal dan sweater tebal hasil rajutan tangan yang indah. Sebuah sepatu bot hitam menghiasi kakiku yang sebelumnya telah di bungkus dengan kaos kaki tebal. Ah, nyamannya.
Kuperhatikan sekelilingku, di belakangku ada sebuah rumah mungil yang juga teramat indah. Bubungan atapnya berwarna putih dipenuhi salju. Sebatang pohon yang sudah berguguran daunnya menjulang di sampingku. Ranting-rantingnya juga penuh dengan gulungan salju. Entah kapan lagi dia akan menampilkan hijau daunnya.
Tiba-tiba saja suasana indah ini rusak oleh teriakan-teriakan dari luar. Uh, selalu saja seperti ini. Pasangan itu tidak ada habisnya bertengkar setiap kali bertemu.

"Kamu memang nggak pernah ngertiin aku. Selalu saja pulang larut malam. Mana ada rapat kantor sampai jam segini. Pasti kamu ketemu perempuan itu lagi. Iya kan?"
"Kamu yang keterlaluan, nuntut macam-macam, curiga melulu. Kamu pikir aku tidak capek apa?"
Si perempuan mulai mengendus-endus. "Tuh kan, ini wangi parfum siapa? Kenapa nggak sama dengan yang biasa kamu pakai? Pasti kamu selingkuh, ayo ngaku saja!"
Si lelaki hanya melengos, kemudian meninggalkan si perempuan yang mulai mengeluarkan segala sumpah serapah. Segala jenis binatang keluar dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja, praaaaang....
"Aaarggggh....."  Kali ini aku yang menjerit. Rumah tempatku bernaung selama ini melayang menuju si lelaki.
Butiran salju melayang turun. Aku, rumah mungil dan pohon itu berserakan di lantai. Ah, akhirnya aku bebas juga dari butiran salju. Sepertinya nasibku sebagai boneka cantik penghuni bola kristal salju telah berakhir. Mungkin juga seperti nasib rumah tangga pasangan tadi.




Selasa, 21 Mei 2013

Prompt 13 : Bapak Pemilik Warung

credit

Aku menghempaskan badanku ke atas bangku panjang di depan sebuah warung. Setelah sepanjang jalanan sepi yang kulewati tadi, akhirnya ada juga tanda-tanda kehidupan di sini.
"Pak, kopinya satu ya!" seruku pada seorang Bapak yang keluar dari dalam warung itu. Sambil menunggu kopi di seduh, aku mencomot sebuah pisang goreng di atas meja.
Kutatap jam tanganku, sudah pukul 6 lewat. Ah... Kalau saja tadi aku lebih cepat menyelesaikan pekerjaanku, tentu tidak akan kemalaman seperti ini. Aku mengeluarkan ponselku, dan sial... Tak ada garis yang menunjukkan adanya signal. Kualihkan perhatianku ke arah puncak gunung yang hampir tidak kelihatan karena tertutup kabut. Besok aku pasti sudah di atas sana, batinku menghibur diri.
"Nak, ini kopinya silakan."
"Makasih Pak." 
"Sendiri saja Nak? Mau naik ya?" tanya si Bapak.
"Iya nih Pak. Mau naik gunung. Tadi rombongan saya sudah jalan duluan dengan mobil dari kota. Saya menyusul pake motor soalnya tadi harus mengurus sesuatu dulu. Mereka akan menunggu saya di pos awal pendakian."
Si Bapak mengangguk-anggukkan kepala.
Sambil mengunyah pisang goreng, terburu-buru kuseruput kopiku sampai tandas. Lumayan, bisa sedikit menutupi rasa laparku.
"Berapa semua Pak?"
"Kopi dengan pisang gorengnya tiga, delapan ribu saja nak."
Kuangsurkan selembar sepuluhribuan sambil pamit pada Bapak itu.
Aku melangkah ke arah motorku ketika tiba-tiba terdengar seruan Bapak itu.
"Nak!"
"Ya Pak?" Aku berbalik. Bapak itu menatapku dengan pandangan aneh.
"Kalau mau ke pos pertama, bukan lewat situ. Kamu mestinya lewat belokan pertama sebelum tiba di sini tadi."
"Wah, saya salah jalan ya? Makasih ya Pak!" Ah, mungkin karena kabut sehingga aku kurang memperhatikan jalan tadi.
Kuletakkan ransel di depan motor, dan segera memutar motor. Sebelum menjalankan motor, aku memalingkan wajah ke arah si Bapak untuk melambaikan tangan.
Nah lho! Si Bapak beserta warungnya tiba-tiba saja lenyap. Sekitar 5 meter di belakangku, di jalan yang hendak ku lalui tadi, terlihat sebuah jurang menganga.
Aku bergidik.

Kamis, 16 Mei 2013

Quiz Monday FlashFiction Prompt #3: Kopdar Naas

credit

Ine kembali menarikan jemarinya di atas tombol smartphonenya.
Sesekali bibirnya tersenyum, kadang pula mengerucut. Semua tergantung dari balasan pesan yang diterimanya. Sesekali pula dia mengangkat muka memperhatikan mobil yang lalu-lalang.
 Adlan, kamu di mana beib? Pegel nih nungguin kamu." Ine kembali mengirim pesan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Seraut wajah melongok dari kaca mobil yang setengah terbuka.
Ah, itu pasti Adlan.
Sebuah dorongan mengagetkannya, dan tiba-tiba saja dia sudah berada dalam mobil. Tapi, itu bukan wajah yang sering ditemuinya di dinding FB. Mana Adlan?
“Tidaaak…! Mana Adlanku...? Kau bukan Adlan? Kamu siapa?”
Tidak ada jawaban, yang ada hanyalah bau alkohol yang menusuk hidungnya hingga perlahan semua menjadi gelap.
*****
Gadis muda itu terkekeh-kekeh menggenggam sesuatu yang terus dipandanginya. Anak-anak kecil sibuk mengejek dia.
Gadis yang sama, senyum yang sama, tarian tangan yang sama, meski kini yang berada di genggamannya hanyalah sebatang kayu. Sudah 4 bulan dia menjadi penghuni tetap di pinggir jalan itu.
Ah, cinta dunia maya kembali menelan korban.

Prompt #12 : Konde

Aku berjalan mengendap-endap.  Untung saja semua lampu sudah dimatikan.  
Aku terkejut saat aku secara tak sengaja menyenggol sesuatu yang besar dan menyembul.
Astaga! Konde? Tapi, siapa yang pakai konde di rumah ini?
Ah, pusing amat dengan konde itu.
Dengan buru-buru kumasukkan semua yang aku dapatkan ke dalam kresek hitam besar. Untung semua penghuni rumah sudah terlelap. Sepertinya tidak ada yang mendengar kesibukanku. Dengan cepat kuselesaikan tugasku. Setelah selesai, aku pergi dengan cara yang sama tadi ketika datang.
---
“Ini bos, setoran saya.” Kuangsurkan kantong kresekku ke si bos yang berbadan kekar.
Bos membuka bungkusan yang kuserahkan. Mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun tiba-tiba senyumnya berubah garang.
“Ini apa maksudnya? Kamu mau ngejek aku ya?”
Di genggaman bos ada konde yang semalam aku temukan. Tamat riwayatku. Meski bos berbadan kekar, sudah menjadi rahasia umum bagi kami anak buahnya kalau setiap malam bos sering mangkal di kawasan dengan dandanan cantik ala penari.

Prompt 11 : Nota

"Wi', sini dulu," bisik Ibu sambil menyeret tanganku ke kamar.
"Apaan sih bu'? Baru juga tiba sudah di seret-seret."
"Ini lho, saya nemu di meja kerja bapakmu tadi waktu beres-beres," kata Ibu sambil menunjukkan selembar kertas.
Aku memandangi kertas itu, selembar nota pembelian minuman.



"Ah Ibu, cuma nota begini diributkan."
"Tapi ini maksudnya apa toh Wi', ngapain bapakmu ke kafe? Minum jus, pesan dua pula. Kamu kan tau sendiri Bapak jarang keluar. Jangan-jangan..."
"Hush. Ibu curiga amat," jawabku.
Kuperhatikan lagi nota itu. Tanggalnya sudah 2 bulan yang lalu. Tanggal 19 Maret.
Upps... Tentu saja.
"Ibu ingat nggak sih tanggal 19 Maret itu ada apa?"
"Tentu saja ingat, itu kan ulang tahun Ibu, masa lupa. Tapi apa hubungannya sama nota ini?"
"Nih, notanya tertanggal 19, sepertinya ini nota waktu Ibu jalan-jalan sama Bapak merayakan ulang tahun Ibu," terangku.
"Oooh iya, Ibu ingat waktu itu kami jalan, terus kehausan dan Bapakmu menyuruh singgah di kafe dulu untuk minum."
Ibu akhirnya tersenyum.  Aku memandangi Ibu dengan trenyuh. Sepeninggal Bapak, Ibu semakin linglung.

Prompt 10 : Kopi


Kembali dihirupnya minuman itu hingga hanya tersisa ampas hitam. Ah, sudah habis... Ide yang dinanti-nantinya bahkan belum juga muncul. Kembali dia melayangkan pikiran. Biasanya hanya butuh beberapa teguk hingga ide itu muncul, namun kali ini entah kenapa ide tak mau datang padanya. Sementara halaman  kerja dihadapannya masih bersih. Diketiknya sebuah kata, namun dengan cepat pula di hapus. Diketiknya kata lain, tapi kembali dia menekan tombol backspace.
Hufft... masih blank saja. Diliriknya ke sebelah. Wanita yang senantiasa menemaninya itu sudah tertidur. 
"Sialan!" makinya dalam hati. Dengan malas dia bangkit berdiri untuk membuat kopi sendiri. Tiba di meja makan, di angkatnya termos. Huhh.. lagi-lagi sial. Termospun tak berpihak padanya. Isinya sudah kosong. Terpaksa dia bergerak ke dapur untuk menjerang air. Sambil menanti air mendidih, disiapkannya cangkir beserta isinya. Dua sendok gula dengan 1 sendok kopi. Takaran favoritnya. Bau bubuk kopi menyusup masuk ke dalam hidungnya. Hmm, belum dituangi air panas  saja sudah wangi begini.
"Ah, kopi memang minuman para dewa," pikirnya. Dia teringat lagi pada masa-masa lalu, ketika dia masih sering berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Juga masa-masa ketika mereka mendaki gunung menikmati pemandangan alam sembari menghirup secangkir kopi. Tiba-tiba saja, *ting... "Yah-kenapa tak kutuliskan saja tentang ini," pikirnya.
Bergegas dia lari ke kamar dan segera duduk mengahadapi komputer tuanya. Dengan  kecepatan maksimal segera dipindahkannya segala sesuatu yang bertebaran di dalam kepalanya. Halaman kerja di depannya menjadi penuh dengan cepat. Namun masih saja dengan kesetanan dituliskannya segala hal yang terus berhamburan di dalam pikirannya.
"Api.... Api..." Terdengar teriakan dari depan jalan. Tak dihiraukannya, karena tangannya masih sibuk menari di atas tuts-tuts keyboard. 
"Yess... selesai!" pekiknya dengan penuh semangat. Namun si jago merah juga telah menuntaskan tugasnya.

Prompt #5: Rahasia

Dengan geram Roni menggebrak meja Marni sambil mencengkram selembar kertas.
"Marni, kenapa ini bisa sampai di meja saya?"
Marni tertunduk dengan wajah cemas.
Roni menghempaskan lembaran itu ke lantai. Marni terdiam melihat Roni yang tampak gelisah.
"Tidak, jangan sekarang. Kasihan Ririn jika dia tahu tentang ini semua." Ucap Roni pada dirinya sendiri.
Kemudian Roni berpaling memandangi Marni, sekretaris kepercayaannya.
" Marni, kamu bisa kan diam saja dulu. Masalah ini cukup kita yang tahu".
Marni menganggukkan kepalanya dengan pasrah.
Pikirannya berkecamuk. 
Bayangan wajah Ririn melintas di benaknya. Ririn yang manis, dengan wajah keibuan.
Dia tak terlalu mengenal Ririn. Hanya sekali-kali saja jika ada acara kantor baru mereka bertemu. Dibayangkannya jika dia yang berada di posisi Ririn.
 "Ah, tidak... sebaiknya memang aku diam saja, biarkan Pak Roni menyelesaikan masalahnya sendiri," batin Marni.
Dipungutnya lembaran itu. Surat kaleng ke sekian kalinya untuk Pak Roni. Surat agar Pak Roni segera mentransfer lagi sejumlah uang secepatnya kalau dia tidak mau rahasia hubungan gelapnya dengan Debby, sang primadona kantor dibocorkan ke istrinya Ririn.
Dibuangnya kertas itu ke tempat sampah. Tiba-tiba handphonenya berdering menunjukkan nada pesan masuk. Marni tersenyum membaca pesan itu. Sebuah SMS Banking yang sudah ditunggu-tunggunya.

Prompt #4: Boneka untuk Risa


"Ibu! Lihat! Aku bawa boneka untuk Risa!"
Ibu tersenyum kemudian berkata, “Lucu sekali. Mudah-mudahan Risa suka. Ibu antar ke kamarnya sekarang?”

Bayu mengangguk senang. Diikutinya Ibu lewat pandangan matanya masuk ke kamar Risa.

"Nggak! Aku nggak mau yang itu!" Risa berteriak keras.
"Ini kan cantik nak, nih mukanya lucu sekali," terdengar suara ibu dengan penuh kasih mencoba membujuk Risa.
"Nggak, aku bilang nggak, ya nggak bu'!"
"Risa sayang, ini dari Mas Bayu lho, masa nggak mau?"
"Hah? Dari Bayu bu'?"
"Iya, tuh dia di depan. Ibu suruh masuk ya?"
"Uhmmm... tunggu...!"
Risa mengambil boneka itu, di timang-timangnya dengan penuh sayang sambil bersenandung.
Wajahnya tersenyum bahagia. Dipandanginya lagi lekat-lekat dan tiba-tiba roman mukanya berubah.
Brak...
Boneka itu terlempar ke dinding.
" Tidaaaak... Ini bukan anakku. Kembalikan anakku."

Ibu dan Bayu saling memandang.  Entah dengan cara apa lagi mereka harus membujuk Risa yang menjadi stress setelah kehilangan bayinya yang di culik sebulan lalu.

PromptChallenge Quiz: Kejutan di pagi buta

Net berlari secepat mungkin. Tidak dipedulikannya bajunya yang basah kuyup kena hujan. Setiap detik begitu berharga. Akhirnya pintu rumah yang ditujunya terlihat juga. Sambil ngos-ngosan mengatur nafas, Net mengetuk pintu.
Tok.... tok... tok...
"Mbah... Mbah...  Mbah Miss..."
Tidak ada yang menjawab. Tak sabar digedornya pintu lebih keras.
"Mbah.... Mbah... tolong Mbah, " teriaknya lebih kencang.
Dilihatnya seberkas cahaya mengerjap dari dalam rumah. Terdengar langkah seseorang yang kemudian membuka pintu.
"Oalah Nduk... ada apa to kamu basah kuyup begini?" tanya Mbah Miss sambil mengucek-ngucek matanya.
" Itu Mbah, ada bayi di rumah. Saya sama Rim nggak tau mau ngapain, bayinya sudah kaku. " Net berusaha menjelaskan.
"Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.
"Aduh Mbah, nanti saja menjelaskannya. Ayo ke rumah sekarang."
"Eh, ayo... ayo.."
Bergegas mereka menuju ke rumah Net. Setibanya di sana Mbah Miss melihat sebuah keranjang di atas dipan kayu dengan sesosok bayi di dalamnya. Tampak Rim duduk di pinggir dipan dengan wajah syok. Mbah Miss segera mengambil alih keadaan. Disentuhnya bayi itu. Dingin sekali. Bayi itu  bahkan tak bergerak. Mbah Miss mendekatkan wajahnya, dirasakannya masih ada helaan nafas dari hidung mungil sang bayi. Segera dibukanya seluruh pakaian yang menempel pada tubuh si bayi.
"Rim, buka baju kamu. Net, tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Nyalakan api di tungku lebih besar. Kemudian carikan baju, selimut atau kalau ada kaos kaki sekalian untuk bayi ini." Mbah Miss memberi perintah dengan cepat. Segera disuruhnya Rim yang masih terbengong-bengong untuk mendekap si bayi yang kini telanjang.
"Dekap dia dengan lembut. Sentuhan kulit kamu akan membangunkan dia," ujar Mbah Miss sambil menutupi bayi dengan selimut pemberian Net. Detik demi detik berlalu dengan tegang, hingga terlihat tangan si bayi bergerak perlahan. Dan akhirnya semua bernafas lega ketika terdengar tangisan kecil dari mulut si bayi.
Mbah Miss mengambil bayi dari Rim, dipakaikannya kaos kaki yang kedodoran. Si bayi masih saja menangis. Diayun-ayunnya bayi itu.
"Mbah, kami menemukan bayi itu tadi di luar. Entah siapa yang menaruhnya, badannya dingin dan kaku. Saya kira dia sudah meninggal. Rim yang pertama menemukannya." Net menjelaskan perlahan.
"Oalah cah ayu...  Orang tua mana pula yang tega membuang kamu ke kampung sepi macam ini? cup..cup... cup.. sayang..." Mbah Miss mengomel sambil menimang si bayi.
"Sini Mbah, biar saya gendong dulu. Baju Mbah masih basah kena hujan tadi. Biar Rim mengambilkan baju kering untuk Mbah." Net kemudian mengambil alih si bayi.
"Bang.. bang.. coba lihat, di keranjang ini ada suratnya," Rim tiba-tiba menyela.

Tolong jaga bayi ini. Terima kasih.
SRI
"Hah? Cuma itu Rim?" tanya Net.
"Iya cuma itu Bang."
Netus memandangi wajah polos bayi itu. Dia masih mengeluarkan tangisan kecil. Mungkin dia lapar. Tiba-tiba Net teringat sesuatu. Sri. Sri.. Sri.... Terbayang lagi hampir setahun silam, saat dia bergulingan dengan Sri di dalam hutan beberapa bulan sebelum menikah dengan Rim. Sri gadis kampung sebelah, si bahenol dengan wajah manis dan menggoda. Wajah Net mendadak pucat.


Prompt #3 : Gara-gara telat

"Gawat!"
 Aku melirik jam di tangan, sudah lewat 3 menit! Kupercepat lariku, walaupun tahu bahwa itu hanyalah usaha sia-sia. Aku sudah telat!
"Tidak apa-apa," kataku menenangkan hati.

Aku mulai memasuki ruangan dan mengetuk pintu. Seketika semua mata di dalam ruangan ini melihat ke arahku. Perasaanku mulai tidak enak. Sekali lagi ku lirik jam tanganku, ah cuma telat 5 menit.

Seorang ibu gemuk berkonde besar dengan dandanan super heboh memandangiku dengan tajam.  Meski tak berkata apa-apa namun lewat tatapan tajamnya sudah mencerminkan bahwa aku ini seakan mangsa yang hendak diterkamnya. Di depannya ada beberapa orang lain. Kemudian seakan tidak terjadi apa-apa, mereka lalu melanjutkan pembicaraan mereka dengan serius.  Ku lihat di atas meja sekarang sudah rapi, padahal kemarin saat kutinggalkan masih berceceran kertas-kertas dan botol-botol air mineral sisa rapat sebelumnya. 
“Ngapain kamu berdiri di situ? Sana keluar!” suara si Ibu gemuk mengagetkanku.
“Iiiya Bu’, maaf saya permisi.” Merasa tak diperlukan aku segera mengundurkan diri keluar ruangan.

Tiga jam sesudah itu.
“ Tino, di panggil Ibu Sugondo tuh…!” Ima rekanku memanggil.
Aku segera bergegas ke ruangan Ibu Sugondo yang tak lain adalah ibu gemuk berkonde tadi.
“ Tino, sini kamu”
“Iiiyyyaaa Bu’….”
“Kamu ya, di kasih tau nggak pernah mau dengar… Sudah berkali-kali kamu melakukan kesalahan yang sama, telat melulu. Masa buat ngebersihin ruangan, saya juga mesti turun tangan. Untung tadi Ima sudah muncul duluan, kalo nggak bisa malu saya sama tamu-tamu tadi.”
“Iya, eh anu… maaf Bu’, saya nggak sengaja.”
“Gak sengaja… gak sengaja, alasan kamu…  Pokoknya besok kamu tidak usah muncul lagi di kantor ini, saya nggak mau lihat muka kamu lagi. Urusan pesangon sana sama si Lisa.”
“Ja…jadi… saya  di … di …” Aku tergagap tak mampu melanjutkan ucapanku.
“Kenapa? Nggak terima? Mau memelas lagi? Sudah beribu kali saya memaafkan kamu. Kali ini nggak ada ampun.  Kamu di pecat...!!!!  kurang jelas .. …???  P… E… C… A… T alias PECAT, mengerti kamu..!!! dasar OB nggak berguna.”
 

Prompt #2 : Tentang tas


Sri menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang diemboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Pikirannya kacau.
taruh... ambil... taruh... ambil........

" Ambil saja, tuh tas kamu sudah jelek, mana kulitnya sudah terkupas.. " si penggoda mulai berbisik.
" Sri, kontrakan belum bayar lho." si baik mencoba mengingatkan.
" Ah, itu kan bisa nunggak, malu lho kalo tasmu masih yang itu-itu saja.." si penggoda mulai melancarkan jurusnya.
" Tas kamu masih bagus kok, lagian kamu gak perlu-perlu amat pake tas, jangan lupa Sri, bulan ini kamu belum ngirim lho ke kampung.." si baik tak berhenti mengingatkan.
" Eh, kemarin Myrna aja yang pembokat sebelah ke mall pake tas baru.. kalah kamu Sri.." penggoda tak mau kalah.
" Ah.. itu bisa-bisanya si Myrna aja, palingan itu juga nyicil, kamu gak usah iri Sri.." si baik juga tak menyerah.

Sri semakin bingung..
Namun akhirnya dia mengambil sebuah keputusan. Secepat kilat diambilnya tas itu dan dimasukkan ke dalam kresek hitam agar tidak mencolok. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya membersihkan tas-tas yang lain, mengelap satu per satu dengan hati-hati.
"toh majikanku punya banyak, dia tidak akan tau kalau ku ambil satu.." Sri membatin, kemudian tersenyum bahagia sambil membayangkan  besok tidak akan lagi mengenakan tas lamanya itu yang di cicil dari majikannya selama setahun potong gaji.

Prompt #1 : G-string merah

Dion melirik jam tangannya,
"hmmmm, belum telat nih" batinnya.
Lima menit kemudian dia sudah berdiri di depan kost-an si Jemmy.
tok..tok.tok ....... Dion mengetuk pintu pelan.
Di tunggunya beberapa saat, namun tidak ada yang membuka pintu. Akhirnya dikeluarkannya handphone-nya. Lebih baik di-watssap..

Jem , gue dah di depan nih, 
Oh ok. Elu langsung masuk kamar aja dulu ya. Gw masih mandi nih
Mehhh… Dion nyengir. Jaman sekarang. Mandi, hape juga dibawa. Watsapan sambil mandi. Dion terkekeh sendiri. Dia menuju kamar nomor dua di deretan kanan. Dibukanya pintu yang memang tak pernah terkunci, lalu masuk.
Kamar itu tak terlalu luas. Dipenuhi dengan barang-barang praktis. Dion menggelesot di lantai bersandarkan tempat tidur. Tapi tiba-tiba matanya tertarik pada sesuatu yang berwarna merah yang sedikit menyembul keluar dari bawah bantal. Penasaran, karena hampir tak ada baju setahu Dion yang berwarna merah di kamar ini, ditariknya benda berwarna merah itu.
Dion terkesiap. G-String? G-String warna merah?

 G-string itu masih di tangannya ketika tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, dan Jemmy ngeloyor keluar cuma mengenakan celana pendek.
"Hai bro,  eh, kebeneran lu udah liat tuh" Jemmy menyapa..
"Eh ka..kamu... , ini mak..maksudnya appaaa....???" Dion tergagap seperti maling ketangkap..
"Hahaha.... biasa aja lagi.. ini tuh jualan saya sekarang, tuh di keranjang bawah masih setumpuk,. Biasanya sih gue jualan onlen, tapi sekarang banyak saingan bro. makanya gue jualan door to door.. Nawarin ke teman. Eh, siapa tau lu minat.. buat bini lu.. murah kok, gue kasih diskon deh.."
"ooohhhhhhh..."
"gimana,minat gak? kalo nggak masukin aja gih sana sama temennya, ntar otak lu malah ngeres lagi.... eh, cepetan, cabut yuk.. .."

Rumah Fiksi

Awalnya blog ini di buat untuk latihan waktu kelas online KEB. Daripada nganggur nggak ada isinya, sepertinya lebih baik saya pindahkan saja flash fiction yang ada di blog saya ke sini. Biar nggak campur-campur deh... :)

Mari kita pindahan...