Halaman

Selasa, 30 Juli 2013

Kado



Aku melangkah perlahan mendekati pembaringannya. 
Kuangsurkan bungkusan di tanganku dan meletakkannya dengan hati-hati.
Happy Birthday sayang, ini kado buat kamu.”
Aku tahu, kamu bakalan suka mengenakannya.
Sweater ini rajutanku sendiri.
Tentu dengan warna favoritmu.
Manis kan?
Kuharap ini bisa menghangatkanmu.
Tunggu aku ya, kelak aku pasti menyusulmu.
Kuharap kamu puas dulu dengan kadoku.
Kupandangi nisanmu, selamat tinggal sayang.
Aku masih harus melanjutkan hidup.

Kamis, 25 Juli 2013

Prompt #21 : Arti hidup







Semua hangatnya oh dirimu
Berikan aku arti hidup
Suguhkan segala raga dan jiwamu untukku

Suatu senja, kala matahari perlahan menghampiri peraduannya. Sepasang insan berbincang perlahan, sembari melepas lelah yang mendera.

“Dek…”
“Iya Mas…”

“Dekkk…
“Iya Mas, ada apa sih? Mas capek? Ya sudah, ntar malam aku pijitin.”

“Mmmm... Nggak, Aku sehat kok. Errr… Aku  cuma mau ngomong.”
“Lah dari tadi emang nggak ngomong yah?”

“Itu loh Dek, kok ya tiba-tiba aja aku kepikiran. Seandainya suatu waktu nanti aku membuat kesalahan sama kamu,  kira-kira kamu bakal ngapain yah?”
“Ouuhh, yo jangan to. Wong aku sudah terlanjur cinta mati sama kamu. Tapi awas yah, berani kamu bikin aku kecewa, Mas jangan kaget kalau liat piring, gelas, panci, kompor bisa terbang dan menghampirimu secara berjamaah!”

“Waduh. Badanku bisa benjol tak karuan dong kalau kena itu semua. Yo jangan to, opo ndak kasian liat diriku babak belur ?”
“Yo itu, balasan yang setimpal. Atau Mas mau aku diemin aja? Aku ndak mau bicara dan ndak mau diajak bicara. Titik!”

“Ya jangan gitu juga, ntar malah aku ndak bisa dengar suaramu yang ngangenin itu.”
“Mas e… Mas ini gimana? Kalau salah ndak mau di marah, trus ndak mau juga didiemin. Lah terus maunya gimana toh? Mas mau menang sendiri gitu? Mas jahat deh! Egois…!”

“Iya ya, aku kok jadi jahat dan mau menang sendiri. Maafkan aku ya Dek.”
“Jadi Mas sudah siap nih, menerima segala benda-benda terbang itu nanti?”

“Ya jangan gitu jugalah Dek. Tapi kalau aku boleh minta, jika aku membuat kesalahan nanti, tolong pegang tanganku dan peluk aku, setelah itu sampaikan semua kesalahanku dengan lembut. Agar aku tidak punya kesempatan untuk melawan semua perkataanmu, dan aku berharap ketika kamu melakukan kesalahan, maka aku akan memperlakukanmu seperti itu juga.”
“Ehmmm… Aku kok jadi malu. Mas pintar deh menggoda aku.”

“Ini bukan menggoda Dek, tapi ini harapanku. Aku ndak mau ada masalah yang membuat kita bertengkar, karena kamu lebih layak untuk dihargai dan disayangi.”
“Iya deh Mas. Semoga kita memang nggak pernah bertengkar yah!”

“Tau nggak Dek? Aku nggak bisa hidup tanpa kamu”
“Ah, Mas mulai lagi deh ngegombal… Sudahlah, yuk pulang. Aku belum menyiapkan makan malam. Mana adikmu yang dari kota itu ntar ngomel-ngomel lagi kalau makanan belum siap.”

“Kamu duluan aja Dek, aku ngumpulin rumput itu dulu. Tanggung kalau ndak dibersihkan sekalian.”
“Ya sudah, aku duluan Mas. Tapi kamu jangan kelamaan, kalau capek nggak usah dipaksakan.”

Ah, istriku.  Maafkan suamimu ini, aku ndak mampu ngomong sama kamu. Ladang ini bukan milik kita lagi. Bukan… Bukan… Bahkan sebenarnya ladang ini tak pernah menjadi milik kita. Warisan Bapak ini punya adikku. Aku ndak pernah memperoleh bagian. Kata Bapak, aku bukan anak kandungnya. Aku hanya berhak mengolah, tapi kalau adikku sudah datang, berarti tiba saatnya untuk menyerahkan miliknya. Dan lagi, kamu tahu badanku yang sering lemah ini? Kata Pak Dokter yang di Puskesmas aku sakit hati. Aku bingung waktu itu, apa itu sakit hati? Aku ndak pernah merasa sakit hati sama siapapun. Bahkan sama orangtua yang menelantarkanku. Namun biar sakit, kamu harus tahu hatiku selalu untukmu.



Note : 
* Dicukup-cukupin pas 500 kata.
* Oh ya, ini terinspirasi dari catatan FB seorang teman yang lagi galau, yang akhirnya saya coba ubah untuk menjadi sebuah FF. Meskipun saya merasa ini FF yang paling geje.. hehehe...

Kamis, 04 Juli 2013

Prompt #19 : Maaf, Bu

credit



"Baik-baik ya Nak di sana nanti. Sekolah yang benar, belajar yang rajin, biar kelak kamu pulang bisa membangun desa kita."
"Iya Bu’,  " jawabku kala itu.
Kupandangi setitik air mata di wajah  Ibu, yang kemudian bergulir dan di iringi titik-titik lainnya.
Kenangan itu terus membayang di benakku setiap kali memandangi jembatan ini. Ku ingat wajah Ibu yang begitu polos. Sendu wajahnya saat melepasku. Ah, Ibu…
"Maaf Pak, waktu anda sudah habis. Kita harus segera ke kantor." Seorang petugas berseragam menarik tanganku yang terikat borgol.
Maaf Bu, aku tidak bisa menunaikan harapanmu.  Memang aku sudah pulang membangun desa kita, namun sayang aku tak mampu bersaing dengan orang kota. Kata mereka ijazah itu asli dan tidak ada yang akan mempertanyakan. Namun kini setelah 5 tahun menjabat jadi Lurah, semua mulai mengorek-ngorek hal itu. Apalagi ketika jembatan ini tak pernah kunjung di bangun dan mereka ribut mempertanyakan di mana gerangan anggarannya.

Rabu, 03 Juli 2013

Cermin : Toraja



Akhirnya aku berada juga di sini, menyaksikan pemandangan alam yang indah sambil menikmati sejuk udara pegunungan. Semua keletihan akibat perjalanan 8 jam dari Makassar langsung lenyap. Bahkan omelan ibu yang tidak tega melepas kepergianku hampir terlupakan.
“Bu aku ditemani Lukas kok. Yakinlah anak ibu kembali dengan selamat, “demikian bujukku. Syukurlah ibu akhirnya melepasku pergi, dengan beribu nasehat padaku dan juga Lukas, sepupu gantengku itu.
Setelah beristirahat semalam di hotel, kami mulai mengelilingi berbagai objek wisata. Ke’te’ kesu’ dengan wisata rumah tradisionalnya yang unik. Tilangnga’, kolam pemandian alami dengan belut raksasa, dan kini di dalam gua bernama Londa yang merupakan pekuburan tradisional. Kondisi gua yang gelap dan dipenuhi dengan peti mati serta tulang-belulang yang berserakan membuat suasana semakin horor. Sang guide lalu menunjukkan dua buah tengkorak yang terletak berdekatan. 


“Mereka ini adalah sepasang kekasih yang bunuh diri karena cintanya tak direstui,” terang guide.
“Kenapa memangnya Bang?” tanyaku penasaran.
“Mereka adalah saudara sepupu, orang tuanya bersaudara, dan bagi orang Toraja merupakan pamali jika menjalin cinta padahal masih saudara.”
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan guide. Tiba-tiba hatiku terasa tak keruan. Kupandangi wajah Lukas, dan aku mulai mempertanyakan perasaanku padanya. Lukas yang selalu mendampingiku, namun juga selalu membuat jantungku berdebar tiap kali berdekatan dengannya.