Semua
hangatnya oh dirimu
Berikan aku arti hidup
Suguhkan segala raga dan jiwamu untukku
Suatu senja, kala matahari perlahan menghampiri peraduannya. Sepasang insan berbincang perlahan, sembari melepas lelah yang mendera.
“Dek…”
“Iya Mas…”
“Dekkk…
“Iya Mas, ada apa sih? Mas capek? Ya sudah, ntar malam aku pijitin.”
“Mmmm...
Nggak, Aku sehat kok. Errr… Aku cuma mau
ngomong.”
“Lah
dari tadi emang nggak ngomong yah?”
“Itu
loh Dek, kok ya tiba-tiba aja aku kepikiran. Seandainya suatu waktu nanti aku
membuat kesalahan sama kamu,kira-kira
kamu bakal ngapain yah?”
“Ouuhh,
yo jangan to. Wong aku sudah terlanjur cinta mati sama kamu. Tapi awas yah,
berani kamu bikin aku kecewa, Mas jangan kaget kalau liat piring, gelas, panci,
kompor bisa terbang dan menghampirimu secara berjamaah!”
“Waduh. Badanku bisa benjol tak karuan dong kalau kena itu semua. Yo jangan to,
opo ndak kasian liat diriku babak belur ?”
“Yo
itu, balasan yang setimpal. Atau Mas mau aku diemin aja? Aku ndak mau bicara
dan ndak mau diajak bicara. Titik!”
“Ya jangan gitu juga, ntar malah aku ndak bisa dengar suaramu yang ngangenin
itu.”
“Mas e… Mas ini gimana? Kalau salah ndak mau di marah, trus ndak mau juga
didiemin. Lah terus maunya gimana toh? Mas mau menang sendiri gitu? Mas jahat
deh! Egois…!”
“Iya
ya, aku kok jadi jahat dan mau menang sendiri. Maafkan aku ya Dek.”
“Jadi Mas sudah siap nih, menerima segala benda-benda terbang itu nanti?”
“Ya
jangan gitu jugalah Dek. Tapi kalau aku boleh minta, jika aku membuat kesalahan
nanti, tolong pegang tanganku dan peluk aku, setelah itu sampaikan semua
kesalahanku dengan lembut. Agar aku tidak punya kesempatan untuk melawan semua
perkataanmu, dan aku berharap ketika kamu melakukan kesalahan, maka aku akan
memperlakukanmu seperti itu juga.”
“Ehmmm…
Aku kok jadi malu. Mas pintar deh menggoda aku.”
“Ini
bukan menggoda Dek, tapi ini harapanku. Aku ndak mau ada masalah yang membuat
kita bertengkar, karena kamu lebih layak untuk dihargai dan disayangi.”
“Iya
deh Mas. Semoga kita memang nggak pernah bertengkar yah!”
“Tau
nggak Dek? Aku nggak bisa hidup tanpa kamu”
“Ah,
Mas mulai lagi deh ngegombal… Sudahlah, yuk pulang. Aku belum menyiapkan makan
malam. Mana adikmu yang dari kota itu ntar ngomel-ngomel lagi kalau makanan
belum siap.”
“Kamu
duluan aja Dek, aku ngumpulin rumput itu dulu. Tanggung kalau ndak dibersihkan
sekalian.”
“Ya
sudah, aku duluan Mas. Tapi kamu jangan kelamaan, kalau capek nggak usah
dipaksakan.”
Ah, istriku.Maafkan suamimu ini, aku
ndak mampu ngomong sama kamu. Ladang ini bukan milik kita lagi. Bukan… Bukan…
Bahkan sebenarnya ladang ini tak pernah menjadi milik kita. Warisan Bapak ini
punya adikku. Aku ndak pernah memperoleh bagian. Kata Bapak, aku bukan anak
kandungnya. Aku hanya berhak mengolah, tapi kalau adikku sudah datang, berarti
tiba saatnya untuk menyerahkan miliknya. Dan lagi, kamu tahu badanku yang
sering lemah ini? Kata Pak Dokter yang di Puskesmas aku sakit hati. Aku bingung
waktu itu, apa itu sakit hati? Aku ndak pernah merasa sakit hati sama siapapun.
Bahkan sama orangtua yang menelantarkanku. Namun biar sakit, kamu harus tahu
hatiku selalu untukmu.
Note :
* Dicukup-cukupin pas 500 kata.
* Oh ya, ini terinspirasi dari catatan FB seorang teman yang lagi galau, yang akhirnya saya coba ubah untuk menjadi sebuah FF. Meskipun saya merasa ini FF yang paling geje.. hehehe...
"Baik-baik ya Nak di sana nanti. Sekolah yang benar, belajar
yang rajin, biar kelak kamu pulang bisa membangun desa kita."
"Iya Bu’," jawabku
kala itu.
Kupandangi setitik air mata di wajahIbu, yang kemudian bergulir dan di iringi
titik-titik lainnya.
Kenangan itu terus membayang di benakku setiap kali memandangi jembatan ini. Ku ingat wajah Ibu yang
begitu polos. Sendu wajahnya saat melepasku. Ah, Ibu…
"Maaf Pak, waktu anda sudah habis. Kita harus segera ke
kantor." Seorang petugas berseragam menarik tanganku yang terikat borgol.
Maaf Bu, aku tidak bisa menunaikan
harapanmu.Memang aku sudah pulang
membangun desa kita, namun sayang aku tak mampu bersaing dengan orang kota.
Kata mereka ijazah itu asli dan tidak ada yang akan mempertanyakan. Namun kini setelah 5 tahun menjabat jadi Lurah, semua mulai mengorek-ngorek hal itu.
Apalagi ketika jembatan ini tak pernah kunjung di bangun dan mereka ribut
mempertanyakan di mana gerangan anggarannya.
Akhirnya aku berada juga di sini,
menyaksikan pemandangan alam yang indah sambil menikmati sejuk udara pegunungan.
Semua keletihan akibat perjalanan 8 jam dari Makassar langsung lenyap. Bahkan
omelan ibu yang tidak tega melepas kepergianku hampir terlupakan.
“Bu aku ditemani Lukas kok. Yakinlah
anak ibu kembali dengan selamat, “demikian bujukku. Syukurlah ibu akhirnya
melepasku pergi, dengan beribu nasehat padaku dan juga Lukas, sepupu gantengku
itu.
Setelah beristirahat semalam di
hotel, kami mulai mengelilingi berbagai objek wisata. Ke’te’ kesu’ dengan
wisata rumah tradisionalnya yang unik. Tilangnga’, kolam pemandian alami dengan
belut raksasa, dan kini di dalam gua bernama Londa yang merupakan pekuburan
tradisional. Kondisi gua yang gelap dan dipenuhi dengan peti mati serta tulang-belulang
yang berserakan membuat suasana semakin horor. Sang guide lalu menunjukkan dua
buah tengkorak yang terletak berdekatan.
“Mereka ini adalah sepasang
kekasih yang bunuh diri karena cintanya tak direstui,” terang guide.
“Kenapa memangnya Bang?” tanyaku
penasaran.
“Mereka adalah saudara sepupu,
orang tuanya bersaudara, dan bagi orang Toraja merupakan pamali jika menjalin
cinta padahal masih saudara.”
Aku manggut-manggut mendengar
penjelasan guide. Tiba-tiba hatiku terasa
tak keruan. Kupandangi wajah Lukas, dan aku mulai mempertanyakan perasaanku
padanya. Lukas yang selalu mendampingiku, namun juga selalu membuat jantungku
berdebar tiap kali berdekatan dengannya.