Halaman

Jumat, 28 Juni 2013

Prompt #18 : Ujian Terakhir

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir tengah malam. Aku sudah berada persis di depan kamar dengan pintu bertuliskan angka 13. Ini adalah ujian terakhir yang harus kuhadapi agar bisa masuk dalam klub cewek populer di sekolah ini. Berdasarkan perintah yang kuterima kemarin, aku harus  berada di kamar ini tepat pukul 12 malam. Mungkin ini semacam uji nyali. Meski agak sedikit was-was, aku mencoba mengetuk pintu.Tiga kali ketukan dan tidak ada yang menyahut. Ku dorong pintu perlahan, ternyata tak di kunci. 

Di dalam kamar hanya ada sebuah tempat tidur. Meski agak gelap, aku bisa melihat ada sesosok tubuh yang berada di atas ranjang tersebut. Perlahan kudekati, namun sosok tersebut tak juga bergerak. Jantungku sedikit berdebar namun kemudian kusadari bahwa tubuh itu adalah Lissa, maskot klub yang akan kumasuki. Lissa adalah sesosok boneka yang mirip Barbie namun dengan ukuran  yang lebih besar. Hampir sebesar tubuh manusia dewasa. Dia berbaring dengan tenangnya di atas ranjang tersebut. Saat kuperhatikan, di genggamannya terdapat secarik kertas. 
Dear Selly,
Ujian terakhir sebelum kamu resmi jadi anggota Zetta adalah tidur bersama Lissa sebagai bukti kesetiaanmu terhadap klub. 
Sampai jumpa besok pagi.

                       -Z-

Ah, cuma itu saja? Gampang...
Aku pasti bisa melewati ujian ini dengan mudah. Karena memang sudah lelah, dengan cepat aku berbaring di sebelah Lissa. Aku merasa baru tertidur sebentar ketika tempat tidur terasa bergoyang-goyang. Aku terbangun. Lissa yang tidur di sampingku, meronta-ronta dan menjerit. Aku berlari keluar dari kamar. Aku begitu ketakutan. Hah? Lissa bisa menjerit. Tidak mungkin, pikirku. 

Aku mencoba mengintip kembali ke dalam. Jeritan yang ku dengar tadi sudah berhenti, dan nampak Lissa terbaring sama seperti pertama kali aku melihatnya tadi. Kuberanikan diri melangkah masuk, dan alangkah kagetnya aku melihat tubuh Lissa tampak di penuhi cairan berwarna merah.  Matanya membelalak ke arahku dan tak ayal lagi aku menjerit dengan penuh kengerian. Tiba-tiba saja Lissa melompat menerjangku dan sebelum aku sempat menjerit-jerit lagi, terdengar suara tawa penuh kemenangan.
"Surprise...Hahaha... sepertinya kamu nggak lolos tes deh Sel, masa sama boneka saja takut," ujar Lissa yang kemudian ketika kuperhatikan ternyata adalah Tessi, ketua Zetta yang  berdandan ala Lissa. Tessi terus saja tertawa, dan mungkin karena capek tertawa, dia berbaring kembali di ranjang.

Oh, jadi ini tes yang harus kuhadapi? Baiklah, kalau kalian ingin kejutan, ku beri kalian kejutan! 
Ku ambil bantal yang tadi kutiduri dan ku bekap kepala Tessi sekuat-kuatnya. Tessi meronta-ronta seperti tadi, dan menjerit dengan suara tertahan. Aku tertawa terbahak-bahak, kemudian melepas bantal. Wajah Tessi pucat pasi.
"Sel, ih apaan sih...sesak tau!"
"Hahaha... Satu sama." Aku bersorak penuh kemenangan.


Senin, 17 Juni 2013

Prompt #16 : Kisah dari Balik Jendela

credit: dokumentasi pribadi Hana Sugiharti

"Mbak, pesanannya seperti biasa?"
Aku mengangguk. Sapaan si pelayan barusan membuyarkan lamunanku. Ah, mungkin dia sudah memperhatikan aku dari tadi. Sejak aku masuk ke kafe mereka, duduk di sudut favoritku, dan memandang ke luar jendela dengan angan yang melayang. Bahkan dia sudah hafal menu sarapanku. 

Aku senang memperhatikan kesibukan orang-orang di luar sana. Berjalan terburu-buru ke arah tujuan mereka masing-masing. Sementara kesibukanku sendiri cuma satu. Aku hanya duduk berlindung di balik jendela sebuah kafe mengamati setiap langkah mereka atau apapun yang terjadi di luar sana, hingga waktunya untuk beranjak sebelum matahari mulai memancarkan teriknya.

Kuarahkan pandanganku ke seberang jalan. Di sebuah jendela apartemen tampak seorang gadis cilik. Sama sepertiku, dia memandang dari balik jendela. Tangan mungilnya menempel di balik kaca. Mata kami bertatapan. Aduh, ini bocah, orangtuanya di mana sih? Kok dibiarin begitu. Hatiku agak geram. Namun perlahan aku mengerti. Dia ingin melihat dunia. Mengetahui semua yang terjadi di balik jendela. Rasa ingin tahunya lebih besar, menutupi rasa takut yang belum dia ketahui. Aku hampir sama dengan bocah itu. Seperti dia bersembunyi di balik tubuh mungilnya yang belum cukup mampu untuk mengarungi dunia ini, aku bersembunyi di balik penyakitku yang tidak memungkinkanku untuk berlama-lama di bawah matahari. Sejak di vonis mengidap Lupus, aku harus terbiasa untuk terus bersembunyi di dalam ruangan. Meski rasa ingin tahuku juga besar, namun kini rasa takutku ternyata lebih banyak mengambil alih peranan dalam hidupku.


Catatan :
Penyakit Lupus adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh berlebih sehingga berbalik menyerang organ-organ tubuh. Gejalanya antara lain kelelahan, demam, nyeri sendi, bercak merah pada kulit menyerupai kupu-kupu. Penderita Lupus menjadi sensitif terhadap matahari.


 

Rabu, 12 Juni 2013

Berani Cerita #15 : Bersamamu Selamanya




Ku genggam erat surat yang sudah menguning itu. Meski sudah hafal isinya, aku terus saja membacanya berulang-ulang. Terkenang lagi masa-masa itu. Usiaku baru saja menginjak 15 tahun. Seorang remaja tanggung yang baru lulus SMP. Dan di tengah euforia kegembiraan merayakan kelulusan dia menghampiriku dengan sepucuk surat. Tanpa kata-kata dia menyerahkannya dan segera berlalu pergi. Tak pernah lagi aku bertemu sejak itu. Hingga tujuh tahun kemudian aku kembali ke kampung setelah menyelesaikan kuliahku di Surabaya. Dari balik jendela ku lihat dia berjalan tersaruk-saruk menggandeng tangan seorang bocah lelaki, dan seorang bayi dalam gendongannya. Ingin kuhampiri tapi tak ada nyali.

Usiaku 33 tahun, dan aku masih tak bisa melupakannya. Ocehan Ibu untuk segera menikah selalu saja ku tepis. Namun akhirnya aku menyerah, seorang gadis muda pilihan Ibu akhirnya menjadi istriku. Dan kemudian ku dengar kabar sedihnya, dia kehilangan suami karena kecelakaan. Betapa ingin aku menghiburnya, mengambil semua kedukaan dari wajahnya. Meski di saat bersamaan akupun ikut berduka karena kehilangan istri yang kabur dengan seorang pemuda pilihannya.

Dan kini, saat usiaku t'lah senja. Surat ini selalu menjadi penyemangatku. Surat cinta pertama dan terakhir darinya. Karena kini dia telah jadi milikku. Nyonya dari Kapten Bhirawa, meski mendapatkan gelar Nyonyanya di kala aku telah pensiun.
"Yuk, masuk Pak, di luar dingin," sapanya hangat sambil mendorong kursi rodaku.

Senin, 10 Juni 2013

Prompt #15: Too Much Love Will Kill You


Setengah berlari aku memasuki sebuah warung. Hmm, sudah terlambat sejam dari waktu yang kujanjikan padanya. Pasti dia sudah pergi. Ah, gara-gara diare aku jadi telat. Entah salah makan apa kemarin. Aku melongok ke sudut warung, tempat favoritnya. Benar saja, dia sudah tidak ada.
"Pagi Paman... Cari Arin kah?" sapa Bapak pemilik warung.
"Iya Bapa... tadi dia adakah?"
"Tadi ada, tapi dia su pergi. Mungkin capek tunggu Paman."
"Ooh.. ya sudah, sa lanjut ke Puskesmas sudah."
"Eh, Paman muka macam pucatkah. Sakitkah?"
"Ah, tarada Bapa, cuma sakit perut saja. Mari sudah e..."
Buru-buru aku melanjutkan perjalanan ke Puskesmas, tempat kerjaku beberapa tahun ini. Belum lagi masuk ke dalam Puskesmas, Erik si perawat asal Jawa menghampiriku.
"Kamu di cari orang dinas mas, buruan masuk sana."
"Ada apa ya? Tumben."
"Ah, tara tau juga, tempo masuk sana," ucapnya dengan logat yang sudah hampir sama dengan masyarakat sini.

***

Aku keluar dari ruangan Kepala Puskesmas dengan muka kuyu. Badanku yang memang sudah kelelahan  menjadi semakin lemas saja. Terngiang kembali ucapan Mas Herman, orang dari dinas tadi. 
"Kamu memang boleh saja membantu masyarakat di luar jam kerja kamu, tapi tolong jangan asal memberi pengobatan. Kamu tau sendiri kan resikonya. Pasien yang kamu obati itu positif HIV. Saya harap kamu bersedia untuk  melakukan test. Kita tidak tahu kamu sudah melakukan kontak apa saja dengan dia."
Teringat olehku wajah Berta, pasien yang selama ini kuobati sendiri. Suntikan obat yang kuberi dua kali tiap minggu, badannya yang kian kurus kering, bahkan ucapan terima kasih Bapaknya yang selalu disertai amplop tebal. Ah, bodohnya aku, tidak pernah memikirkan gejala penyakitnya dan terus saja memberi suntikan untuk penyakit TB yang memang terlihat dari hasil dahaknya. Berta, gadis manis yang dulu kupacari sebelum kugantikan lagi dengan Lina, Rika, Lena, dan kini Arin, serta entah berapa lagi lainnya. Mas Herman, Erik, Bapak pemilik warung dan seluruh penduduk kampung pasti sudah tahu sepak terjangku. Selain memeriksa pasien, aku juga sering mengencani mereka.


Catatan :
* Paman : panggilan pendek untuk Pak Mantri
* Bapa  : panggilan hormat untuk Bapak-bapak (orang yang dituakan)
* Su : sudah
* Sa : saya
* tarada : tidak
* Tara tau : tidak tahu
* tempo : cepat
* Diare dan kelelahan juga merupakan gejala HIV selain gejala-gejala yang lain seperti demam, berkeringat di malam hari dan lain-lain (silahkan googling sendiri hehehe....)
* penyakit TB : penyakit Tuberkolosis,  dapat di diagnosa lewat pemeriksaan mikroskopis dahak, foto thoraks (rontgen).