Halaman

Jumat, 13 September 2013

Prompt #25 : Demi Susu Sari

Sepeninggal Warti, aku kembali memikirkan tawarannya. Kulirik Sari yang sudah tertidur berkat susu dari Warti  tadi. 
Haruskah kulakukan ini? 
Masihkah aku mampu bertahan?
Aaargh... Aku mulai merutuk lagi.
Merutuki nasibku. Merutuki Bang Ronal yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa untukku dan Sari.
Merutuki pemilik kost yang sudah tiga kali datang dalam minggu ini untuk menagih.
Merutuki pemilik warung yang tak lagi mau kuutangi.
Apakah aku akan begini terus? Mengandalkan gaji sebagai buruh cuci yang tak seberapa.
Tidak !
Ini harus berubah. 
Yah, tawaran dari Warti akan merubah nasibku. Kuputuskan untuk menerimanya.

Dan di sinilah aku, keesokan harinya menunggu Warti. Meski tiba-tiba muncul sedikit keraguan yang mencuat dalam hatiku, namun melihat tubuh kurus anakku dan mendengar tangisannya yang menyayat hati, kubuang keraguan itu serta-merta.
Sari perlu susu. Titik.

"Yun, maaf aku telat."
Warti tiba-tiba muncul di sampingku.
"Eh, kok pake baju begituan sih! Ganti dong! Gimana mo dapat duit kalo baju kamu kayak gitu."
Aku melirik bajuku, menurutku tak ada yang salah. 
"Nih, aku masih ada stok." Warti merogoh ke dalam kresek yang dibawanya.
"Sana ganti dulu di toilet umum sana. Sari biar sama aku."
Meski bingung, aku menurut saja.
"Gimana penampilanku War?"
"Hmmm... Pas deh. Nah kalo gitu pasti dapat duit banyak. Perhatiin yah caraku, Sari sama aku dulu."

Tepat saat lampu merah menyala, Warti bergegas mengetuk sebuah kaca mobil yang berhenti. Tangannya menengadah, berbalikan dengan wajahnya yang  menunduk  takzim. Pintu kaca mobil terbuka setengah, dan kulihat sebuah tangan melemparkan selembar uang kertas. Begitu seterusnya di beberapa mobil yang lain.

Ketika lampu hijau kembali menyala, Warti bergerak ke arahku. 
"Gampang kan? Memang kelihatannya cuma dapat beberapa rupiah, tapi kalo ditotalin hasilnya lumayan lho!
Coba hitung, misalnya satu mobil kamu dapat dua ribu rupiah. Kalikan dengan 5 mobil setiap kali lampu merah. Lalu anggap saja lampu merah itu tiap 5 menit, berarti ada 12 kali lampu merah tiap jam, kalikan lagi dengan berapa jam kamu kerja, taruhlah 7 jam, lalu kalikan 20 hari misalnya, tak perlu bekerja tiap hari. Coba hitung hasilnya berapa...? Kalah deh gaji pegawai kantoran Yun. Tapi, jangan lupa persenan buat aku yah!" Warti nyerocos menjelaskan.

Aku tersenyum, meski tak pandai matematika, namun aku mampu memperkirakan nilainya.
Sari, tak perlu khawatir Nak, susumu  pasti terbeli.

"Nah, itu lampu merah lagi! Sana, bawa Sari sekalian, eh, tongkat ini sekalian."
Warti menyerahkan Sari ke dalam gendonganku dan juga sebuah tongkat. Dengan berjalan sambil pura-pura terpincang, aku menghampiri sebuah mobil hitam. Meski agak takut-takut, kuberanikan diriku mengetuk kaca mobil itu. Kutundukkan kepalaku sambil menengadahkan tangan persis seperti Warti tadi. Sedetik, dua detik, tiga detik berlalu, dan akhirnya kaca mobil itu terbuka dalam 5 detik hitunganku. 
"Uh, pengemis jaman sekarang banyak akalnya yah, pake bawa anak segala."
Terdengar sebuah suara yang sepertinya cukup akrab di telingaku, namun aku tak berani mengangkat muka.
 "Biarin aja Mas, kasian tuh!"
Kemudian kurasakan selembar kertas dalam tanganku. 
"Yess... Berhasil!" pekikku dalam hati.
Ku angkat kepalaku, untuk sekedar mengangguk mengucapkan terima kasih. Namun pemandangan dalam mobil itu tiba-tiba menyentakku.
"Bang Ronaaallll...!"


*****

Note : 495 kata





Minggu, 01 September 2013

Prompt #23 : Minah




Namaku Hiroko.
Eh, tentu saja bukan :)
Hanya saja, aku sungguh ingin punya nama seperti itu.
Sayangnya ibu bilang nama itu terlalu bagus buatku.
Padahal sedikit-sedikit tampangku mirip orang-orang bermata sipit itu.
Namaku Sam. Seperti kisah seorang kakek yang menulis surat pada cucunya Sam, aku berharap kakekku mau mengirim surat untukku suatu saat nanti.
Namaku Dewey.
Tapi sepertinya aku tak nampak seperti kucing yang manis.
Namaku Joshua.
Tak ada hubungannya dengan lagu Di obok-obok.
Namaku Pi.
Aku berharap mampu bertahan dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

Namaku Anne. 
Kedengarannya sangat manis.

Namaku Knife. 
Meski bukan peri, namun aku sering berurusan dengan benda itu.

Namaku Joan. 
Tapi, aku sepertinya tidak akan bisa menyamar sebagai lelaki.

Namaku Sally. 
Seru juga jika punya pribadi lain dalam dirimu.

Namaku....
 “Minaaaah…..! “
Terdengar teriakan Ibu memanggil.
Ya, namaku memang Minah. Tak perlu mencari-cari nama lain. Ayah dan ibuku sudah memilih nama yang terbaik untukku.
“Iyaaa Nyah… Saya di sini!”
Sssst… jangan bilang-bilang ya, aku membongkar buku-buku milik Nyonya untuk mencari-cari nama tadi.