Halaman

Senin, 10 Juni 2013

Prompt #15: Too Much Love Will Kill You


Setengah berlari aku memasuki sebuah warung. Hmm, sudah terlambat sejam dari waktu yang kujanjikan padanya. Pasti dia sudah pergi. Ah, gara-gara diare aku jadi telat. Entah salah makan apa kemarin. Aku melongok ke sudut warung, tempat favoritnya. Benar saja, dia sudah tidak ada.
"Pagi Paman... Cari Arin kah?" sapa Bapak pemilik warung.
"Iya Bapa... tadi dia adakah?"
"Tadi ada, tapi dia su pergi. Mungkin capek tunggu Paman."
"Ooh.. ya sudah, sa lanjut ke Puskesmas sudah."
"Eh, Paman muka macam pucatkah. Sakitkah?"
"Ah, tarada Bapa, cuma sakit perut saja. Mari sudah e..."
Buru-buru aku melanjutkan perjalanan ke Puskesmas, tempat kerjaku beberapa tahun ini. Belum lagi masuk ke dalam Puskesmas, Erik si perawat asal Jawa menghampiriku.
"Kamu di cari orang dinas mas, buruan masuk sana."
"Ada apa ya? Tumben."
"Ah, tara tau juga, tempo masuk sana," ucapnya dengan logat yang sudah hampir sama dengan masyarakat sini.

***

Aku keluar dari ruangan Kepala Puskesmas dengan muka kuyu. Badanku yang memang sudah kelelahan  menjadi semakin lemas saja. Terngiang kembali ucapan Mas Herman, orang dari dinas tadi. 
"Kamu memang boleh saja membantu masyarakat di luar jam kerja kamu, tapi tolong jangan asal memberi pengobatan. Kamu tau sendiri kan resikonya. Pasien yang kamu obati itu positif HIV. Saya harap kamu bersedia untuk  melakukan test. Kita tidak tahu kamu sudah melakukan kontak apa saja dengan dia."
Teringat olehku wajah Berta, pasien yang selama ini kuobati sendiri. Suntikan obat yang kuberi dua kali tiap minggu, badannya yang kian kurus kering, bahkan ucapan terima kasih Bapaknya yang selalu disertai amplop tebal. Ah, bodohnya aku, tidak pernah memikirkan gejala penyakitnya dan terus saja memberi suntikan untuk penyakit TB yang memang terlihat dari hasil dahaknya. Berta, gadis manis yang dulu kupacari sebelum kugantikan lagi dengan Lina, Rika, Lena, dan kini Arin, serta entah berapa lagi lainnya. Mas Herman, Erik, Bapak pemilik warung dan seluruh penduduk kampung pasti sudah tahu sepak terjangku. Selain memeriksa pasien, aku juga sering mengencani mereka.


Catatan :
* Paman : panggilan pendek untuk Pak Mantri
* Bapa  : panggilan hormat untuk Bapak-bapak (orang yang dituakan)
* Su : sudah
* Sa : saya
* tarada : tidak
* Tara tau : tidak tahu
* tempo : cepat
* Diare dan kelelahan juga merupakan gejala HIV selain gejala-gejala yang lain seperti demam, berkeringat di malam hari dan lain-lain (silahkan googling sendiri hehehe....)
* penyakit TB : penyakit Tuberkolosis,  dapat di diagnosa lewat pemeriksaan mikroskopis dahak, foto thoraks (rontgen).



10 komentar:

  1. wekekekekeke gak tau, saya ngakak baca ini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan kemarin banyak yang sedih2... sekali2 kita tertawa ya hehehe..

      Hapus
  2. aiih, dokter nya plamboyan :D

    tak kirain salah ketik tadi mbak #eh, ternyata bahasa daerah, jadi malu saya :D

    BalasHapus
  3. Miris sekaligus pengen ketawa bacanya, kasian pasiennya yang lain.

    Nice story. Bikin saya mikir enggak mau punya pacar dokter #loh

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaiyalah saya juga gak mau, oran udah punya suami haha

      Hapus
    2. Mba Rini, mba Evi sama mba Hana, sebenarnya yang di maksud bukan dokter, tapi mantri. Di sini masih banyak mantri yang buka praktek seperti praktek dokter. Sebenarnya sih kalau ikut aturan ya nggak boleh, cuman kadang alasan mereka karena di pedalaman, belum ada dokter dan lain sebagainya. Terus yang saya heran juga, penduduk banyak yang lebih suka ke mantri daripada ke dokter. Mungkin juga mereka takut mahal atau apa...

      Hapus
  4. pak dokter ga tau kalau pasiennya HIV?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan pak dokter mba Latree, tapi pak mantri...
      diagnosanya belum lengkap kali.. hehe..

      Hapus